Rabu, 19 Juni 2013

HUKUM MEMBACA DAN MEMEGANG AL QUR'AN SAAT HAID (PART 1 & 2)

    • Hukum membaca Al quran saat haid (PART 1)
      Terjadi perbedaan dari jumhur ulama mengenai hukum memegang al-Qur'an bagi wanita yang sedang datang bulan (haid), nifas dan orang yang junub:
      Pendapat 1
      Tidak memperbolehkan.
      Imam Malik, Hanafi dan Syafi’i berpendapat bahwa suci dari hadas kecil dan hadas besar adalah syarat di perbolehkannya memegang Mushaf Al qur’an. Pendapat ini didasarkan pada ayat :
      لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
      Artinya:
      “Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79)
      Para ulama di atas menafsirkan المُطَهَّرُونَ sebagai orang-orang yang bersuci. Baik dengan berwudhu ataupun mandi jinabah.
      Pendapat ini juga diperkuat dengan hadis-hadis
      “Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)
      “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)
      “Adalah Nabi saw tidak melarangnya membaca al-Qur'an kecuali karena jinabah.” (HR: Ahmad dan Abu Daud)
      “Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Wanita haid dan orang yang junub tidak boleh membaca (walaupun satu ayat) Alquran.” — (silsilah periwayat: Ibnu Hujr & al-Hasan bin Arafah dari Ismail bin Ayyash dari Musa bin Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu Umar)”(HR Tirmizi dan Ibnu Majah)
      Ali ia berkata, “Dalam keadaan apapun, selain junub, Rasul shallallah ‘alaihi wasallam selalu membacakan Alquran kepada kita.(HR Tirmidzi)
      Jabir berkata, “Wanita haid dan nifas serta orang junub tidak boleh membaca Alquran.”(HR Tirmidzi) yang sedang haid dilarang memegang Al Qur’an. Namun berdasarkan pendapat para ulama hadist-hadist di atas memiliki beberapa titik lemah sehingga bisa dinilai sebagai hadis dhoif. Adapun kelemahan-kelemahannya adalah sebagai berikut.
      1. Hadist Ibnu Umar di atas diriwayatkan Ismail bin Ayyash dari Musa bin Uqbah (ulama hijaz) sehingga hadist ibnu Umar dinilai dhoif
      2. Hadist tirmidzi ada yang di dapat dari Abdullah bin Salamah sementara Imam Bukhari menyatakan bahwa hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Salamah tidak layak untuk diikuti
      3. Titik lemah hadis tirmidzi yang lain adalah termasuknya Yahya bin Anisah sebagai salah satu periwayatnya sementara Imam Bukhari berpendapat bahwa hal ini mengindikasikan bahwa hadis tersebut adalah hadis dhoif (Lihat kitab al-Tarikh al-Kabir), dll.
      Dalam menyikapi hadis dhoif di atas, para ulama juga berbeda pendapat. Dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Bukhari memandang bahwa hadist dhaif selamanya tetap dhaif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah
      Sementara ulama-ulama lain seperti Sufyan al-Tsauri, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ishak berpendapat bahwa walaupun semua berstatus dhoif – dan sebagian hadis kadar ke-dlaif-annya tidak parah – tapi masing-masing saling menguatkan sehingga hadis tersebut bisa dimasukkan dalam golongan hadis hasan lighairih( hadis dhoif berubah status menjadi hadis hasan karena faktor eksternal). Sehingga, larangan wanita haid dan orang junub membaca Alqur’an tetap berlaku.
      Perlu dingat meskipun ulama-ulama di atas melarang orang yang tidak suci memegang mushaf al-Qur'an, namun mereka
      membolehkan jika dalam kondisi sebagai berikut:
      1. Menyelamatkan mushaf al-Quran, baik dari hinaan orang lain, maupun jika mushaf itu ditemukan di tempat yang tidak layak atau najis. Dalam kondisi seperti diperbolehkan orang yang tidak berwudhu (atau tidak suci) untuk memegang mushaf.
      2. Ayat-ayat al-Qur'an yang tertulis di buku-buku ilmu dan pengetahuan. Dalam kondisi ini diperbolehkan menyentuh ayat-ayat yang terdapat pada buku-buku ilmu pengetahuan.
      3. Buku tafsir atau buku terjemah, dimana kandungan tafsir atau terjemahnya lebih banyak dari isi al-Quran. Dalam kondisi ini pun diperbolehkan memegang buku tafsir atau buku al-qur'an terjemah
      4. Mushaf al-Qur'an yang ditulis dengan selain bahasa Arab. Seperti buku Yasin yang banyak ditulis dengan tulisan latin, maka hal ini pun diperbolehkan menyentuh atau memegangnya.
      5. Mushaf al-Quran yang digunakan untuk belajar anak-anak yang belum baligh. Anak-anak yang belum mukallaf diperbolehkan memegang mushaf. Namun orang tua/walinya dianjurkan
      memperhatikannya agar tidak diperlakukan tidak baik oleh mereka.
      6. Diperbolehkan membawa mushaf al-Quran dalam kantong yang terpisah dengan al-Quran (bukan sampul yang menempel langsung dengan al-Quran), seperti kantong plastik, kantong belanja, tas dan lain sebagainya. Adapun jika memegang al-Qur'an, meskipun disampul dengan bahan tebal, sedangkan sampul itu menempel dengan al-Aquran, maka hal itu tidak diperbolehkan.
      7. Ayat al-Quran yang tertulis di koin atau lembaran uang (seperti mata uang di Negara-negara Arab) boleh dipegang karena terdapat kesulitan menghindarinya.
      Demikian penjelasan tentang pendapat ulama yang tidak memperbolehkan memegang mushaf. Untuk penjelasan mengenai ulama yang memperbolehkan memegang mushaf di waktu haid bisa disimak lebih lanjut diartikel selanjutnya
  •  
    • HUKUM MEMBACA DAN MEMEGANG AL QUR'AN SAAT HAID (PART 2)


      Setelah pendapat pertama diuraikan di bagian 1, sekarang saatnya kita membahas pendapat kedua.
      Ulama yang memperbolehkan wanita haid memgang Al Qur’an berpegang pada dalil berikut :
      إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُو نٍ لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ تَتِريلٌ مِّن رَّبِّ الْعَا لَمِينَ

      Artinya:
      “Sesungguhnya Al qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Robbul ‘Alamin.” (QS. Al Waqi’ah: 77-80)

      Ulama-ulama yang menyetujui pendapat ini berpendapat bahwa, kata ganti nya pada “Tidak menyentuhnya” dirujuk kepada kitab yang terpelihara (Al Waqiah :78).
      Selain itu lafadz المُطَهَّرُونَ yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.
      Merujuk pada hadist

      “Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)

      Serta firman Allah

      “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28)

      Semakin memperkuat pandapat para ulama bahwa yang dimaksud dengan yang disucikan disini adalah seluruh orang beriman.

      Dalil lain yang juga menjadi dasar pendapat ini adalah hadis Rasulullah yang merupakan jawaban atas pertanyaan Aisyah tentang hal apa saja yang bisa dilakukan wanita haid saat berhaji:

      “lakukanlah semua apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf di Baitullah hingga engkau suci”
      ( HR. al-Bukhori dan Muslim).

      Meski demikian bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang mushaf untuk membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu. Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, akan tetapi hendaknya dia tidak membaca pada mushhaf sebelum berwudhu”.

      Kesimpulannya, kedua pendapat di atas hanyalah masalah khilafiyah. Kita bebas menganut yang mana asal tahu dasarnya

      Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar